Loading

Sabtu, 11 Januari 2014

PRINSIP DETEKSI DINI TERHADAP KELAINAN, KOMPLIKASI DAN PENYAKIT YANG LAZIM TERJADI PADA IBU HAMIL, BERSALIN DAN NIFAS”

Deteksi Dini Penyulit Persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Tanda atau gejala yanga menunjukkan adanya persalinan adalah :
Nyeri abdomen yang bersifat intermiten setelah kehamilan 22 minggu.
Nyeri disertai lendir darah.
Adanya pengeluaran cairan dari vagina
Persalinan dibagi menjadi 4 kala yaitu :
Kala 1
Dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan servik sampai pembukaan lengkap yaitu 10 cm.
Kala 2
Dimulai ketika pembukaan sudah lengkap sampai bayi lahir.
Kala 3
Dimulai setelah lahirnya bayi dan berkhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
Kala 4
Dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir setelah 2 jam setelah itu.
Persalinan tidak selalu berjalan dengan normal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan kepada ibu yang sedang bersalin, penolong harus waspada terhadap masalah yang mungkin terjadi. Selain itu, deteksi dini penyulit persalinan juga tidak kalah pentingnya demi kesuksesan dan kelancaran jalannya proses kelahiran.
Pemanfaatan partograf pada setiap persalinan kala I aktif.
Pencatatan partograf
a. Informasi tentang ibu
Melengkapi bagian awal ( atas ) partograf secara teliti pada saat mulai asuhan persalinan meliputi; nama, umur, gravida para dan abortus, nomor RM, tanggal dan waktu dirawat, waktu pecahnya ketuban
b. Kesehatan dan kenyamanan janin
1) DJJ
DJJ dicatat setiap 30 sekali (lebih sering jika ada kegawatdaruratan). Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf diantara garis tebal angka 180 – 100, tetapi harus waspada bila DJJ dibawah 120atau diatas 160.
2) Warna dan adanya air ketuban
Nilai air ketuban setiap kali dilakukan PD dan nilai warna air ketubanjika selaput ketuban pecah.
 U : Ketuban utuh ( belum pecah )
 J : ketuban sudah pecah dan ai ketuban jernih
 M :ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur meconium
 D :air ketunan sudah pecah dan bercampur darah
 K : ketuban sudah pecah dan air ketuban tidak ada ( kering )
3) Molase ( penyusupan kepala janin )
Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh bayi dapat menyesuaikan diridengan bagian atas keras ibu. Tulang kepala yang sampai menyusup atau tumpang tindig menunjukkan kemungkinan adanya disproporsi tulang panggung ( CPD ). Ketidak kemampuan akomodasi akan benar – benar terjadijika tulang kepala yang bisa menyusup tidak mampu dipisahkan.lambang – lambang dalam mollase :
 0 : tulang – tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dipalpasi
 1 : tulang – tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
 2 : tulang –tulang kepalajanin saling tumpang tindih, tapi masih dapat dipisahkan
 3 : tulang – tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan.
c. Kemajuan Persalinan
Untuk menilai kemajuan persalinandilakukan pemeriksaan setiap 4 jam sekali.kolom dan lajur kedua pada partograf adalah untuk pencatatan kemajuan persalinan.
1) Pembukaan Servik
2) Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin
3) Garis waspada atau garis bertindak
d. Jam dan waktu
1) Waktu mulainya fase aktif persalinan
Dibagian bawah partograf ( pembukaan servik dan penurunan ) tertera kotak-kotak yang diberi angka 1-16. setiap kotak menyatakan waktu 1 jam sejak dimulainya fase aktif persalinan.
2) Waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan
Di bawah lajur kotak untuk waktu mulainya fase aktif tertera kotak-kotak untuk mencatat waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan.
e. Kontraksi uterus
Kontraksi uterus dicatat setiap 30 menit dengan melakukan palpasi. Untuk menghitung banyaknya kontraksi dalam 10 menit dan lamanya tiap-tiap kontraksi dalam hitungan detik. Kemajuan persalinan dikatakan cukup baik jika kontraksi teratur dan progresif dengan peningkatan frekuaensi dan durasi. Tetapi jika kontraksinya tidak teratur dan tidak sering setelah fase laten dapat menyebabkan persalinan lama .
f. Obat – obatan
1) Oksitosin
Jika tetesan atau drip oksitosin sudah dimulai dokumentasikan setiap 30 menit jumlah unit oksitosin yang diberikan per volume cairan IV dan dalam satuan tetsan permenit.
2) Obat – obatan lain dan cairan IV
Catat semua pemberian obat-obatan tambahan dan cairan IV dalam kotak yang sesuai dengan kolom waktunya.
g. Kesehatan dan kenyamanan ibu
1) nadi, tekanan darah dan temperatur tubuh
nilai dan catat nadi ibu setiap 30 menit selama fase aktif persalinan. Jika denyut nadi ibu meningkat, mungkin dia dalam keadaan dehidrasi atau kesakitan. Pastikan hidrasi yang cukup melalui oral atau IV dan berikan analgesik secukupnya
nilai dan catat tekanan darah ibu setiap 4 jam selama fase aktif persalinan. Jika tekanan darah ibu menurun curigai adanya perdarahan.
Nilai dan catat suhu ibu ) lebih sering jika meningkat, atau dianggap adanya infeksi ) setiap 2 jam.
2) Volume urine, protein dan aseton
Ukur dan catat jumlah produksi urin ibu sedikitnya 2 jam (setiap kali ibu berkemih ) lakukan pemeriksaan adanya aseton atau protein dalam urine setiap ibu berkemih. Jika terdapat aseton dalam urin ibu dicurigai masukan nutrisi yang kurang, segera berikan dextros.
h. Asuhan pengamatan dan keputusan klinik lain.
Catat semua asuhan lain, hasil pengamatan dan keputusan klinik disisi luar kolom partograf atau buat catatan terpisah kemajuan persalinan.

Deteksi Dini Pada Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah partus selesai dan berakhir ketika alat – alat kandunga seperti sebelum hamil.
Perubahan yang terjadi pada masa nifas :
Suhu badan
Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 0 C. sesudah partus dapat naik + 0,5 0 C dari keadaan normal, tetapi tidak melebihi 38,0 0C sesudah 12 jam pertama melahirkan, umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan lebih dari 38 0C mungkin ada infeksi
Nadi
Pada umumnya nadi berkisar antara 60 – 80 denyutan atau menit. Segera setelah partus dapat terjadi brakikardi. Bila terdapat takikardi sedangkan badan tidak panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis pada penderita. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan dengan suhu badan.
Hemokonsentrasi
Pada masa hamil didapat hubungan pendek yang dikenal sebagai “ shunt “antara sirkulasi ibu dan plasenta. Setelah melahirkan shunt akan hilang dengan sendirinya dan tiba – tiba. Volume darah pada ibu relatif akan bertambah. Keadaan ini menimbulkan pada jantung, sehingga dapat menimbulkan dekompensasi kordis pada penderta vitium kordis.
Laktasi
Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan – persiapan pada kelenjar mamae untuk menghadapimasa laktasi ini. Perubahan yang terdapat pada kedua mamae antara lain :
a. Proliferasi jaringan, terutama kelenjar – kelenjar dan alveolus mamae dan lemak.
b. Pada duktus laktiferus terdapat cairan yang kadang – kadang dapat dikeluarkan ( kolossrum ).
c. Hipervaskularisasi terdapat pada permukaan maupun pada bagian dalam mamae.
d. Setelah persalinan, pengaruh menekan estrogen dan progesteron hilang.maka timbul pengaruh hormon laktogenik ( LH ) atau prolaktin yang akan merangsang air susu.
Lochea yaitu cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa nifas.
a. Lochea rubra atau kruenta
Berisi darh segar dan sisa – sisa selaput ketuban, sel – sel desidua, verniks kaseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca persalinan.
b. Lochea sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, terjadi pada hari ke 3 sampai 7 pasca persalinan.
c. Lochea serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, terjadi pada hari ke 7 sampai 14 pasca persalinan.
d. Lochea alba
Merupakan cairan putih, terjadi setelah 2 minggu.
e. Lochea purulenta
Biasanya lochea berbau agak sedikit amis, kecuali bila terdapat infeksi
f. Lokhiostasis
Lochea tidak lancar keluarnya.

BERBAGAI PERUBAHAN PADA PERINEUM, VAGINA DAN VULVA
Berkurangnya sirkulasi progesteron mempengaruhi otot – otot pada panggul, perineum, vagina dan vulva. Proses ini membantu pemulihan kearah tonisitas atau elastisitas normal dari ligamentum otot rahim.ini merupakan proses bertahap yang akan berguna apabila ibu melakukan ambulasi dini, senam masa nifas dan mencegah timbulnya konstipasi. Progesteron juga meningkatka pembuluh darah pada vagina dan vulva selama kehamilan dan persalinan biasanya menyebabkan timbulnya beberapa hematoma dan edema pada jaringan ini dan pada perineum.

RINGKASAN MATERI POKOK BAHASAN 2
“PENYAKIT YANG MENYERTAI PADA IBU DALAM MASA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS”
Penyakit yang Menyertai Kehamilan dan Persalinan
1. Tuberkulosis Paru
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, BB menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan adanya ronkhi basal, suara caverne atau pleural effusion. Penyakit ini mungkin bentuknya aktif atau kronik, dan mungkin pula tertutup atau terbuka.
Pada penderita yang dicurigai menderita TBC Paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (puirified protein derivate) 5u, bila hasil positif dilanjutkan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X, pada penderita TBC Paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk membuat diagnosis secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan / uji sensitivitas. Pada janin dengan ibu TBC Paru jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui ibunya.
Penatalaksanaan :
Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Sebagian besar obat anti TBC aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan harus diganti dengan etambutol, pasien hamil dengan TBC Paru yang tidak aktif tidak perlu mendapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif dianjurkan untuk menggunakan dua macam obat atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu diikutkan karena paling aman untuk kehamilan, efektifitasnya tinggi dan harganya lebih murah.
Obat-obatan yang dapat digunakan
Isoniazid (INH) 300 mg/hari. Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu –perlu diperiksa faal hati sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara obat harus segera dihentikan.
Etambutol 15-20 mg/kg/hari. Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat sedikit dan pada janin belum ada.
Streptomycin 1gr/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, jangan digunakan dalam kehamilan trimester I. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik). Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan pada penderita karena harus disuntikan setiap hari.
Rifampisin 600mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan sehingga sebaiknya tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
Pemeriksaan sputum harus dilakukan setelah 1-2 bulan pengobatan, jika masih positif perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat, bila pasien sudah sembuh lakukan persalinan secar biasa. Pasien TBC aktif harus ditempatkan dalam kamar bersalin terpisah, persalinan dibantu Ekstraksi Vacum atau Forcep. Usahakan pasien tidak meneran, berikan masker untuk menutupi mulut dan hidung agar kuman tidak menyebar. Setelah persalinan pasien dirawat di ruang observasi 6-8 jam, kemudian dapat dipulangkan langsung. Pasien diberi obat uterotonika dan obat TBC tetap harus diteruskan. Penderita yang tidak mungkin pulang harus dirawat di ruang isolasi, karena bayi cukup rentan terhadap penyakit ini, sebagian besar ahli menganjurkan pemisahan dari ibu jika ibu dicurigai menderita TBC aktif, sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali yang selalu memperlihatkan hasil negatif.
Pasien TBC yang menyusui harus mendapat regimen pengobatan yang penuh. Semua obat anti TBC sesuai untuk laktasi sehingga pemberian laktasi dapat dengan aman dan normal. namun bayi harus diberi suntikan mantoux, mendapat profilaksis INH dan imunisasi BCG.
2. Ginjal
Dalam kehamilan terdapat perubahan-perubahan fungsional dan anatomic ginjal dan saluran kemih yang sering menimbulkan gejala-gejala dan kelainan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium.perubahan natomi terdapat peningkatan pembuluh darah dan ruangan interstisial pada ginjal. Ginjal akan memanjang kurang lebih 1 cm dan kembali normal setelah melahirkan. Ureter juga mengalami pemanjangan, melekuk dan kadang berpindah letak ke lateral dan akan kembali normal 8-12 minggu setelah melahirkan.
Selain itu juga terjadi hiperlpasia dan hipertrofi otot dinding ureter dan kaliks, dan berkurangnya tonus otot-otot saluran kemih karena pengaruh kehamilan. Akibat pembesaran uterus hiperemi organ-organ pelvis dan pengaruh hormonal terjadi perubahan pada kendung kemih yang dimulai pada kehamilan 4 bulan. Kandung kemih akan berpindah lebih anterior dan superior. Pembuluh-pembuluh di daerah mukosa akan membengkak dan melebar. Otot kandung kemih mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen. Kapasitas kandung kemih meningkat sampai 1 liter karena efek relaksasi dari hormon progesterone.
Perubahan Fungsi
Segera sesudah konsepsi, terjadi peningkatan aliran plasma (Renal Plasma flow) dan tingkat filtrasi gomerolus (Gomerolus Filtration Rate). Sejak kehamilan trimester II GFR akan meningkat 30-50 %, diatas nilai normal wanita tidak hamil. Akibatnya akan terjadi penurunan kadar kreatinin serum dan urin nitrogen darah, normal kreatinin serum adalah 0,5-0,7 mg/100 mll dan urea nitrogen darah 8-12 mg/100 mll.
3. Jantung
Etiologi
Sebagian besar disebabkan demam reumatik. Bentuk kelainan katup yang sering dijumpai adalah stenosis mitral, insufisiensi mitral, gabungan stenosis mitral dengan insufisiensi mitral, stenosis aorta, insufisiensi aorta, gabungan antara insufisiensi aorta dan stenosis aorta, penyakit katupulmonal dan trikuspidal.
Faktor Predisposisi
Peningkatan usia pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklamsi atau eklamsi, aritmia jantung atau hipertrofi ventrikel kiri, riwayat decompensasi cordis, anemia.
Patofisiologi
Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dalam berlangsungnya kehamilan, yang harus dipenuhi melalui darah ibu. Untuk itu banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu dalam kehamilan selalu terjadi perubahan dalam system kardiovaskuler yang baisanya masih dalam batas-batas fisiologik. Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan karena :
Hidrenia (Hipervolemia), dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan puncaknya pada UK 32-36 minggu
Uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.
Volume plasma bertambah juga sebesar 22 %. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah ; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan darah).
12-24 jam pasca persalinan terjadi peningkatan volume plasma akibat imbibisi cairan dari ekstra vascular ke dalam pembuluah darah, kemudian di ikuti periode deuresis pasca persalinan yang mengakibatkan hemokonsentrasi (penurunan volume plasa). 2 minggu pasca persalinan merupakan penyesuaian nilai volume plasma seperti sebelum hamil.
Jantung yang normal dapat menyesuaikan diri, tetapi jantung yang sakit tidak. Oleh karena itu dalam kehamilan frekuensi denyut jantung meningkat dan nadi rata-rata 88x/menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan sering terdengar bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Penyakit jantung akan menjadi lebih berat pada pasien yang hamil dan melahirkan, bahkan dapat terjadi decompensasi cordis.
Manifestasi Klinis
Mudah lelah, nafas terengah-engah, ortopnea, dan kongesti paru adalah tanda dan gejala gagal jantung kiri. Peningkatan berat badan, edema tungkai bawah, hepato megali, dan peningkatan tekanan vena jugularis adalah tanda dan gejala gagal jantung kanan. Namun gejala dan tanda ini dapat pula terjadi pada wanita hamil normal. Biasanya terdapat riwayat penyakit jantung dari anamnesis atau dalam rekam medis.
Perlu diawasi saat-saat berbahaya bagi penderita penyakit jantung yang hamil yaitu :
Antara minggu ke 12 dan 32. Terjadi perubahan hemodinamik, terutama minggu ke 28 dan 32, saat puncak perubahan dan kebutuhan jantung maksimum
Saat persalinan. Setiap kontraksi uterus meningkatkan jumlah darah ke dalam sirkulasi sistemik sebesar 15 - 20% dan ketika meneran pada partus kala ii, saat arus balik vena dihambat kembali ke jantung.
Setelah melahirkan bayi dan plasenta. Hilangnya pengaruh obstruksi uterus yang hamil menyebabkan masuknya darah secara tiba-tiba dari ekstremitas bawah dan sirkulasi uteroplasenta ke sirkulasi sistemik.
4-5 hari seetelah peralinan. Terjadi penurunan resistensi perifer dan emboli pulmonal dari thrombus iliofemoral.
Gagal jantung biasanya terjadi perlahan-lahan, diawali ronkhi yang menetap di dasar paru dan tidak hilang seteah menarik nafas dalam 2-3 kali.
Gejala dan tanda yang biasa ditemui adalah dispnea dan ortopnea yang berat atau progresif, paroxysmal nocturnal dyspnea, sinkop pada kerja, nyeri dada, batuk kronis, hemoptisis, jari tabuh, sianosis, edema persisten pada ekstremitas, peningkatan vena jugularis, bunyi jantung I yang keras atau sulit didengar, split bunyi jantung II, ejection click, late systolic click, opening snap, friction rub, bising sistolik derajat III atau IV, bising diastolic, dan cardio megali dengan heaving ventrikel kiri atau kanan yang difus.
Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan laboratorium rutin juga dilakukan pemeriksaan :
EKG untuk mengetahui kelainan irama dan gangguan konduksi, kardiomegali, tanda penyakit pericardium, iskemia, infark. Bisa ditemukan tanda-tanda aritmia.
Ekokardigrafi. Meteode yang aman, cepat dan terpercaya untuk mengetahu kelainan fungsi dan anatomi dari bilik, katup, dan peri kardium
Pemeriksaan Radiologi dihindari dalam kehamilan, namun jika memang diperlukan dapat dilakukan dengan memberi perlindung diabdomen dan pelvis.
Diagnosis
Burwell dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria. Diagnosis ditegakkan bila ada satu dari kriteria :
Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus
Pembesaran jantung yang jelas
Bising sistolik yang nyaring, terutama bila disertai thrill
Arimia berat
Pada wanita hamil yang tidak menunjukan salah satu gejala tersebut jarang menderita penyakit jantung. Bila terdapat gejala decompensasi jantung pasien harus di golongkan satu kelas lebih tinggi dan segera dirawat
Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan
Kelas I
 Tanpa pembatasan kegiatan fisik
 Tanpa gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa

Kelas II
 Sedikit pembatasan kegiatan fisik
 Saat istirahat tidak ada keluhan
 Pada kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti: kelelahan, jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina pectoris
Kelas III
 Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
 Saat istirahat tidak ada keluhan
 Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
Kelas IV
 Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
Komplikasi
Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat.
Penatalaksanaan
Sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau ahli jantung. Secara garis besar penatalksanaan mencakup mengurangi beban kerja jantung dengan tirah baring, menurunkan preload dengan deuretik, meningkatkan kontraktilitas jantung dengan digitalis, dan menurunkan after load dengan vasodilator.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan tambahan
Kelas II
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kedua kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein, rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran. Lakukan persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural
Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan dengan ketat. Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Bila terjadi takikardi, takipnea, sesak nafas (ancaman gagal jantung), berikan digitalis berupa suntikan sedilanid IV dengan dosis awal 0,8 mg, dapat diulang 1-2 kali dengan selang 1-2 jam. Selain itu dapat diberi oksigen, morfin (10-15 mg), dan diuretic.
Pada kala II dapat spontan bila tidak ada gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan ibu tidak dapat dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum dengan segera
Tidak diperbolehkan memaki ergometrin karena kontraksi uterus yang bersifat tonik akan menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik dala jumlah besar.
Rawat pasien sampai hari ke 14, mobilisasi bertahap dan pencegahan infeksi, bila fisik memungkinkan pasien dapat menusui.
Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat diberikan diuretic
Kelas IV
Harus dirawat di RS
Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring, digitalis, dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
Pemberian oksitosin cukup aman. Umumnya persalinan pervaginam lebih aman namun kala II harus diakhiri dengan cunam atau vacuum. Setelah kala III selesai, awasi dengan ketat, untuk menilai terjadinya decompensasi atau edema paru. Laktasi dilarang bagi pasien kelas III dan IV.
Operasi pada jantungn untuk memperbaiki fungsi sebaiknya dilakukan sebelum hamil. Pada wanita hamil saat yang paling baik adalah trimester II namun berbahaya bagi bayinya karena setelah operasi harus diberikan obat anti pembekuan terus menerus dan akan menyebabkan bahaya perdarahan pada persalinannya. Obat terpilih adalah heparin secara SC, hati-hati memberikan obat tokolitik pada pasien dengan penyakit jantung karena dapat menyebabkan edema paru atau iskemia miocard terutama pada kasus stenosis aorta atau mitral.
Prognosis
Prognosis tergantung klasifikasi, usia, penyulit lain yang tidak berasal dari jantung, penatalaksanaan, dan kepatuhan pasien. Kelainan yang paling sering menyebabkan kematian adalah edema paru akut pada stenosis mitral. Prognosis hasil konsepsi lebih buruk akibat dismaturitas dan gawat janin waktu persalinan.
4. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang meninjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatbya resopsi makanan maka terjadi hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
Diagnosis
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion.
Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
Klasifikasi
Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
Tergantung insulin (TI) – Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.
Komplikasi
Maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
Fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
Neonatal : prematuritas, kematian intra uterin, kematian neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.
Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarka pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg. Penatalaksanaan Obstetric Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa. Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin. 5. Asma Asma Bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai UK 24-36 minggu dan pada akhir kehamilan jarang terjadi serangan. Komplikasi Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin dan sering terjadi keguguran, partus premature dan gangguan petumbuhan janin. Manifestasi Klinis Factor pencetus timbulnya asma antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan factor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, biasanya penderita mengeluh nafas pendek, berbunyi, sesak, dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan. Penatalaksanaan mencegah timbulnya stress Menghindari factor resiko/pencetus yang sudah diketahui secara intensif Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacamnya yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol Pada keadaan lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat dihilangkan dengan 1atau lebih dari obat dibawah ini a. Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml disuntikan SC b. Isoproterenol (1:100) berupa inhalasi 3-7 hari c. Oksigen d. Aminopilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infus glukosa 5 % e. Hidrokortison 260-1000 mg IV pelan-pelan atau per infus dalam D10% Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena dapat membuat gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi. Upayakan persalinan secara spontan namun bila pasien berada dalam serangan, lakukan VE atau Forcep. SC atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan. Jangan berikan analgesik yang mengandung histamin tapi pilihlah morfin atau analgesik epidural. Dokter sebaiknya memilih obat yang tidak mempengaruhi ASI. Aminopilin dapat terkandung dalam ASI sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan, gelisah, dan ganggguan tidir. Namun obat anti asma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya karena kadarnya dalam ASI sangat kecil. RINGKASAN MATERI POKOK BAHASAN 2 “PENYAKIT YANG MENYERTAI PADA IBU DALAM MASA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS” Infeksi yang Menyertai Kehamilan dan Persalinan (TORCH) TOXOPLASMOSIS a. Temuan klinis Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebsbkan oleh toxoplasma gondii. Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis. BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia. b. Penularan Kucing Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan oocyst yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran oocyst terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan oocyst ketika terinfeksi oleh organisme lain. Feses kucing sudah sangat infeksius. Oocyst dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampat setiap hari. Jika oocyst terkandung dalam tanah sisa-sisa partikel berada di atasnya dan akan terbawa arus air hujan. Sisa oocyst dapat bertahan hidup sampai lebih dari 1 tahun tetapi tidak aktif dalam keadaan beku, kekeringan, panas lebih dari 50 C atau terkontak dengan ammonia, biodin atau formalin. Daging Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama toxoplasma di Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada suhu yang tinggi untuk mecegah terjadinya penularan toxoplasma c. Diagnosis Ibu Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala mononucleosisslike. Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut:  Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan  Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali pemeriksaan yang berbeda, atau  Terdeteksi antibody IgM toxoplasma Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer pada wanita hamil.
Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
d. Penatalaksanaan dan pencegahan
Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan kombinasi pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine peroral 4 X/hari selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I. Asam folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari yang berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA, ini biasa digunakan di Eropa dan karenanya tidak ada pengawasan yang baik terhadap kemanjuran obat ini
Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis 0,5 mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam 1 tahun. Pada saat menginjak remaja diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan pyrimethamine. Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan merupakan infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tiak menunjukan infeksi dan positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain yang mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus menunjukan adanya penurunan titer antibody IgG terhadap toxoplasma.
RUBELLA
Rubella dapat meningkatkan angka kematian perinatal dan sering menyebabkan cacat bawaan pada janin. Sering dijumpai apabila infeksi dijumpai pada kehamilan trimester I (30-50%). Anggota tubuh anak yang bisa menderita karena rubella:
e. Mata (katarak, glaucoma, mikroftalmia)
f. Jantung (Duktus arteriosus persisten, stenosis pulmonalis, septum terbuka)
g. Alat pendengaran (tuli)
h. Susunan syaraf pusat (meningoensefalitis, kebodohan)
Dapat pula terjadi hambatan pertumbuhan intra uterin, kelainan hematologik (termasuk trombositopenia dan anemia), hepatosplenomegalia dan ikterus, pneumonitis interstisialis kronika difusa, dan kelainan kromosom. Selain itu bayi dengan rubella bawaan selama beberapa bulan merupakan sumber ibfeksi bagi anak-anak dan orang dewasa lain.
Diagnosis
Diagnosis rubella tidak selalu mudah karena gejala-gejala kliniknya hampir sama dengan penyakit lain, kadang tidak jelas atau tidak ada sama sekali. Virus pada rubella sering mencapai dan merusak embrio dan fetus. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan isolasi virus atau dengan dotemukannya kenaikan titer anti rubella dalam serum.
Nilai titer antibody
 Imunitas 1:10 atau lebih
 Imunitas rendah < 1:10  Indikasi adanya infeksi saat ini  1:64 Apabila wanita hamil dalam trimester I menderita viremia, maka abortus buatan perlu dipertimbangkan. Setelah trimester I, kemungkinan cacat bawaan menjadi kurang yaitu 6,8% dalam trimester II dan 5,3% dalam trimester III. Tanda dan Gejala klinis:  Demam-ringan  Merasa mengantuk  Sakit tenggorok  Kemerahan sampai merah terang atau pucat, menyebar secara cepat dari wajah ke seluruh tubuh, kemudian menghilang secara cepat  Kelenjar leher membengkak  Durasi 3-5 hari Hingga kini tidak ada obat-obatna yang dapat mencegah viremia pada orang yang tidak kebal.. manfaat gamaglobulin dap\lam hal ini masih diragukan, yang lebih manjur ialah vaksin rubella. Akan tetapi, vaksinasi ini sering menimbulkan artralgia atau arthritis, dan pula vaksinasi yang dilakukan tidak lama sebelum terjadinya kehamilan atau dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi janin. Karena itu, lebih baik vaksinasi diberikan sebelum perkawinan. Pemberian vaksin pada wanita selam kunjungan prekonsepsi dianjurkan untuk uji serologi varicella apabila klien selama masa kanak-kanaknya tidak mempunyai riwayat infeksi, kontraindikasi pada kehamilan adalah menghindari konsepsi selama 3 bulan setelah vaksinasi. CMV (CITOMEGALO VIRUS) Infeksi primer CMV dapat terjadi dengan frekuensi 1-2%. Infeksi congenital kekerapannya adalah 1-2% dari kehamilan. Walaupun jarang, 10-15% anak yang mwngalami infeksi congenital akan mengalami cacat bawaan. Bila infeksi terjadi pada trimester I atau awal trimester kedua dapat timbul keadaan hydrocephalus, mikrocephalus, mikroftalmia, hernia, gangguan pendengaran, retardasi mental dan mungkin ditemukan kalsifikasi serebral. Bila infeksi terjadi pada bulan-bulan terakhir kehamilan dapat dijumpai hepatosplenomegali, trombositopeni, purpura, korioretinitis, dan pneumonitis. Selain melalui plasenta, infeksi dapat sampai ke BBL melalui kontak virus dari serrvik, ASI, faring, dan urin ibu yang melahirkannya. Transfusi darah juga dapat menularkan infeksi CMV. Infeksi yang terjadi setelah lahir ini akan menampilkan gejala pneumonia, hepatosplenomegali dan sepsis yang tarjadi pada bulan pertama kehidupannya. Diagnosis pada ibu ditegaskan melalui pemeriksaan serologik (biasanya dengan cara ELISA), karena klinis tidak menunjukkan gejala yang khas. Virus biasanya dapat diisolasi dalam pembiakan jaringan. Hingga kini tidak dikenal pengobatan yang manjur bagi penyakit ini bagi ibu maupun neonatus. Kesulitan lain ialah bahwa infeksi CMV pada ibu biasanya tidak menimbulkan gejala dan sering tidak diketahui. Bila diketahui terdapat gejala infeksi, maka dapat diberi pengobatan simptomatik dan istirahat. Ibu dengan status imunitas yang rendah dan infeksi yang berat perlu diberi obat antivirus. HERPES Infeksi herpes virus hominis pada orang dewasa biasanya ringan. Walaupun demikian, penyakit ini dapat menyebabkan kematian janin dan bayi. Pada bayi dapat dijumpai gelembung-gelembung pada kulit di seluruh badan, atau pada konjungtiva dan selaput lendir mulut. Kematian bayi dapat pula disebabkan oleh ensefalitis herpes virus. Virus tipe II dapat menyebabkan herpes genitalis dengan gelembung-gelembung berisi cairan di vulva, vagina, dan servik, yang dikenal juga dengan nama herpes simpleks. Penularan kepada anak dapat terjadi melalui: i. Hematigen melalui plasenta j. Akibat penjalaran ke atas dari vagina ke janin apabila ketuban pecah k. Melalui kontak langsung pada waktu bayi lahir Diagnosis tidak sulit yaitu apabila terdapat gelambung-gelambung di daerah alat kelamin, ditemukannya benda-benda inklusi intranuklear yang khas di dalam sel-sel epitel vulva, vagina atau servik setelah dipulas menurut papanicolau, memberi kepastian dalam diagnosis. Herpes genitalis merupakan infeksi virus yang senantiasa bersifat kronik, recurrent, dan dapat dikatakan sulit diobati. Sampai saat ini hanya satu cara pengobatan herpese yang cukup efektif, yaitu antivirus yang disebut acyclovir. Obat-obat analgetik dipakai untuk mengurangi rasa nyeri di daerah vulva. Acyclovir dalam kehamilan tidak dianjurkan, kecuali bila infeksi yang terjadi merupakan keadaan yang mengancam kematian ibu, seperti adanya ensefalitis, pneumonitis, dan atau hepatitis, dimana acyclovir dapat diberikan secara IV. SC dianjurkan pada wanita yang pada saat kelahiran menunjukkan gejala-gejala akut pada genetalia, untuk menghindari penularan akibat kontak langsung. Karena bila dengan persalinan pervaginam 50% bayi akan mengalami infeksi. Pada pasca persalinan, ibu yang menderita herpes aktif harus diisolasi. Bayinya dapat diberikan untuk menyusui bila ibu telah cuci tangan mengganti baju yang bersih. RINGKASAN MATERI POKOK BAHASAN 2 “PENYAKIT YANG MENYERTAI PADA IBU DALAM MASA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS” Infeksi yang menyertai Kehamilan dan Persalinan 6. SYPHILIS Infeksi syphilis (lues) yang disebabkan oleh Treponema pallidum, baik yang sudah lama maupun yang baru diderita oleh ibu dapat ditularkan kepada janin. Syphilis kongenita merupakan bentuk penyakit syphilis yang terberat. Infeksi pada janin dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan, dengan derajat risiko infeksi yang tergantung jumlah spiroketa (treponema) di dalam darah ibu. Sudah diketahui secara umum bahwa syphilis mempunyai pengaruh buruk pada janin: dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus, dan partus prematurus. Dalam hal demikian dapat dijumpai gejala-gejala syphilis kongenita, diantaranya pemfigus syfilitikus, deskwamasi pada telapak kaki dan tangan, serta rhagade di kanan-kiri mulut. Pada persalinan tampak janin atau plasenta yang hidropik. Syphilis harus diobati segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang tuanya kehamilan. Lebih dini dalam kehamilan pengobatan diberikan, lebih baik prognosis bagi janin. Syphilis primer yang tidak diobati dengan adekuat, 25% akan menjadi syphilis sekunder dalam waktu 4 tahun. Sebelum zaman antibiotika, syphilis diobati dengan neoarsphenamine (Salvarsan) dan bismuth. Sekarang pengobatan syphilis dalam kehamilan dilakukan dengan penicillin, dan apabila penderita tidak tahan (alergi) penicillin, dapat diberikan secara desensitiasi. Eritromisin tidak dianjurkan karena besar kemungkinan akan gagal untuk mengobati infeksi pada janin. Untuk syphilis primer, sekunder, dan laten dini (kurang dari 1 tahun) dianjurkan mendapat Benzathine penicillin G dengan dosis 2,4 juta satuan IM sekali suntik (separuh di kanan dan separuh di kiri). Untuk syphilis lama (late syphilis) diperlukan dosis yang lebih tinggi: 7,2 juta satuan (total) dibagi dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta satuam IM perminggu dalam 3 minggu. Dosis tunggal penicilline di atas umumnya sudah cukup untuk melindungi janin dari penderitaan syphilis. Abortus atau kematian janin selama atau tidak lama setelah pengobatan biasanya tidak disebabkan karena gagalnya pengobatan, tetapi karena pengobatan terlambat diberikan. Suami juga harus diperiksa darahnya dan bila perlu diobati. Bila ragu, darah tali pusat juga diperiksa. Follow up bulanan melalui pemeriksaan serologik perlu dilakukan sehingga bila perlu pengobatan ulang dapat segera diberikan. Untuk lues kongenita pada neonatus dianjurkan pengobatan sebagai nerikut: 100.000-150.000 satuan/kg BB aquaeous crystalline penicilline G perhari (diberikan 50.000 satuan/kg BB secara IV setiap 8-12 jam) atau 50.000 satuan/kg BB Procain penicillin perhari diberikan 1x IM selama 10-14 hari. Bayi yang lahir dari ibu dengan syphilis boleh tetap mendapat ASI. Bila ibu tersebut masih menderita lesi pada kulit, kontak dengan bayinya harus dihindari. 7. VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN POX) Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus. Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran. Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil. 8. INFEKSI TRAKTUS URINARIUS Infeksi saluran kencingnadalah infeksi bakteri yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Walaupun bakteri uria asimtomatik merupakan hal biasa, infeksi simtomatik dapat mengenai salran bawah yang menyebabkan sisititis, atau menyerang kaliks, pelvis, dan parenkim ginjal sehingga mengakibatkan pielonefritis. Organisme yang emnyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti bahwa beberapa galur escherichia coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya. Walaupun kehamilan itu sendiri tampaknya tidak meningkatkan faktor0faktor virulensi ini, stasis air kemih tampaknya menyebabkan hal itu, dan bersam dengan revluksvesikoureter, stasis mempermudah timbulnya gejala infeksi saluran kemih bagian atas. Overdistsnsi yang disertai kateterisasi untuk mengeluarkan iar kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih. Bakteriuria Asimtomatik kondisi ini mengacu pada perkembangan bakteri yang terus-menerus secara aktif di dalamsaluran kemih tampa menimbulkan gejala. Insiden selama kehamilan bergantung pada paritas, ras dan status social ekonomi bakteri uria biasanya sudah ada pada saat kunjungan pra natal I dan setelah biakan urin awal yang negatif, wanita yang mengalami infeksi saluran kemih jumlahnya 1 % atau kurang. Makna Apabila bakteri uriaasimtomatik tidak diobati sekitar 25 % pasien akan mengalami infeksi simtomatik akut selam kehamilan tersebut. Eradikasi bakteri uria dengan anti mikroba telah dibuktikan dapat mencegah sebagian besar infeksi klinis tersebut. Pada beberapa penelitian, bakteri uria yang tersamar dilaporkan menyebabkan sejumlah efek merugikan pada kehamilan. P-ada penelitian-penelitian awal oleh kass (1962), insiden kelahiran preterm dan mortalitas prenatal meningkat pada wanita dengan bakteri uria yang mendapat plasedo dibandingkan dengan yang mendapat terapi. Dari bukti-bukti yang sekarang ada kecil kemungkinan bahwa bakteri uria asimtomatik merupakan factor utama untuk bayi pre term atau BBLR. Pada banyak diantara wanita ini bacteria uria menetap setelah melahirkan, dan pada sebagian juga menujukan bukti-bukti radiografik adanya infeksi kronik, lesi obstruktif atau kelainan congenital saluran kemih. Infeksi simtomatik sering berulang sering terjadi. Therapi Wanita dengan bakteri uria asimtomatik dapat diberi pengobatan dengan salah satu dari bebrapa regimen anti mikroba. Pemilihan dapat didasarkan pada sensitifitas infitro, tetapi mumumnya dilakukan secara empiris. Terapi selam 10 hari dengan makrokristal nitrovurantoin 100 mg/hari terbukti untuk sebagian besar wanita. Regimen lain adalah amphicilin, amoksisilin, chefalosporin, nitrofurantoin, atau sulfonamide 4 X sehari selam 3 hari. Terapi anti mikroba dosis tunggal untuk bakteri uria juga pernah dilaporkan pernah berhasil. Kegagalan regimen dosis tunggal mungkin merupakan petunjuk adanya infeksi saluran bagian atas dan perlunya terapi yang lebih lama, misalnya nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur selam 21 hari. Bagi wanita dengan bakteri uria yang menetap atau sering kambuh mungkin diidikasikan terpai supresif sepanjang sisa kehamilannya. Salah satu regimen yang telah terbukti berhasil adalah nitrovurntoin 11 mg sebelum tidur Sistitis Dan Uretritis Biasanya sistitis di tandai oleh disuria, urgensi dan frekuensi. Biasanya ditemukan bakteri uria dan piuria. Hematuriamikroskopik sering terjadi dan kadang-kadang terjadi hematuria makroskopik akibat sistitis haemoragik, walaupun sistitis biasanya tidak berpenyulit, saluran kemih bagian atas dapat terkena akibat infeksi asenden. Therapi Wanita dengan sistitis cepat berespon dengan salah satu beberapa regimen. Haris dan gilstrat (1981) melaporkan angka kesembuhan 97 % pada regimen amphicilin 10 hari. Sulfonamide, mitrofurantoin atau sevalosporin juga efektif apabila diberikan selama 10 hari. Terapi dosis tunggal yang digunakan untuk bakteri uria asimtomatik terbukti efektif untuk wanita hamil maupun tidak hamil, tetapi sebelumnya harus dipastikan tidak ada pielonefritis. Pielonefritis Akut Infeksi ginjal merupakan penyulit medis paling serius pada kehamilan, terjadi pada sekitar 2 % wanita hamil. Keseriusan pielonefritis akut selam kehamilan digaris bawahi sebagai penyebab utama syok septic selama kehamilan. Infeksi ginjal lebih sering terjadi setelah pertengahan kehamilan, pada lebih dari separuh kasus penyakitnya unilateral dan di sisi kanan, sedangkan pada ¼ bilateral. Pada sebagian besar wanita, infeksi disebabkan oleh bakteri yang naik dari saluran kemih bawah. Antara 75-90 % infeksi ginjal disebabkan oleh bakteri yang meimiliki adehesin fimbriae-P. Gambaran Klinis Awitan pielonefritis biasanya agak mendadak. Gejala meliputi demam, menggigil hebat, dan nyeri tumpul di salah satu atau kedua regio lumbal. Pasien mungkin mengalami anoreksia, mual dan muntah. Perjalanan penyakit dapat sangat bervariasi dengan demam sampai setenggi 40 C atau lebih dan hipotermia sampai 34C. rasa nyeri biasanya dapat ditimbulkan dengan perkusi disalah satu atau kedua sudut costovertebra. Sedimen urin sering mengandung banyak leukosit, seringkali dalam gumpalan-gumpalan dan banyak bakteri. Walaupun diagnosis biasanya mudah, pielonefritis dapat disangka sebagai proses persalinan, koriamnionitis, appendicitis, solusio plasenta, atau infark myoma, dan masa nifas disangka sebagai metritis dengan selulitis panggul. Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan bermakna laju filtrasi glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan syndrome gawat nafas akut. Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut. Penatalaksanaan Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dnegan selimut pendingin. Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemilihan obat bersifat empiris; ampicilin, plus gentamicin, cevazolin atau ceftriakson terbukti 95 % efektif dalan uji-uji klinis acak. Resistensi E. Coli terhadap anphicilin sering terjadi dan hanya separuh hanya strain yang ada masih sensitive. Invitro terhadap apmhicilin, tetapi senagian besar masih sensitive terhadap cevasolin. Karena itu banyak dokter cenderung menberikan genthamicin atau aminoglikosida lain bersama dengan amphicilin. Apabila pasien mendapat oab-obat neotoksik perlu dilakukan pengukuran kreatinin serum secara serial. Akhirnya sebagian penulis cenderung menggunakan suatu sefaloskorin atau phenicilin dengan spectrum diperluas. Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi; tetapi walaupun gejala cepat menghilang banyak penulis menganjurkan agar terapi dilanjutkan hingga 7-10 hari. Apabila biakan urin selanjutnya memberikan hasil positif diberikan nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selam sisa kehamilan. Penatalaksanaan Rawat Jalan Dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan. Semua wanita dalam uji ini mendapat dua dosis ceftriakson IM 1 gr di RS dengan selang 24 jam sebelum mereka yang dimasukan kekelompok rawat jalan diperbolehkan pulang. Dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat sebelum dan setelah pemulangan dari RS. Penatalaksaan Bagi Mereka Yang Tidak Berespon Apabila perbaikan klinis belum tampak jelas dalam 48-72 jam, wanita tersebut perlu pemeriksaan obstruksi saluran kemih, untuk mecari ada tidaknya dipensi abnormal pada ureter atau pielokaliks. Pemasangan doble-J steent diureter akan mengatasi obstruksi pada sebagian besar kasus. Apabila gagal dilakukan nefrostomi perkutanium. Apabila gagal juga perlu dilakukan pengeluaran batu ginjal secara bedah agar infeksi reda. Tindak Lanjut Bila tidak dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin sterilitas urin, pasien sebaiknya diberi nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur sampai selesai hamil. Pielonefritis Kronik penyakit ini adalah suatu nefritis interstisial kronik yang diperkirakan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada banyak kasus, terjadi pembentukan jaringan parut klasik yang terdeteksi secara radiologis dan disertai refluks ureter selagi berkemih; oleh karenanya penyakit ini juga disebut sebagai nefropatirefluks. Pada kasus lanjut, yang muncul adalah gejala insufisiensi ginjal. Patogenesis penyakit ini masih belum jelas tetapi tampaknya bukan hanya disebabkan oleh infeksi bakteri persisten. Prognosis pada ibu dan janin bergantung pada luas kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dan pembentkan jaringan parut ginjal bilateral berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu, apabila pielonefritit kronik lainnya mengalami penyulit bakteri uria selama kehamilan, dapat terjadi pielonefritit akut yang akan memperparah keadaan. Hampir seluruh wanita dengan pembentukan jaringan parut ginjal akibat infeksi saluran kemih pada masa kanak-kanak akan mengalami bakteri uria saat hamil (Martinel dkk , 1990). 9. HEPATITIS Hepatitis infeksiosa disebabkan oleh virus dan merupakan penyakit hati yang paling sering dijumpai dalam kehamilan. Pada wanita hamil, pemyebab hepatitis infeksiosa terutama oleh virus hepatitis B. walaupun kemingkinan juga dapat karena virus hepatitis A atau Hepatitis C. hepatitis virus dapat terjadi pula setiap satt kehamilan dan mempunyai pengaruh buruk pada janin maupun ibunya. Pada trimester I dapat terjadi keguguran, akan tetapi jarang dijumpai kelainan congenital (anomaly pada janin). Sedangkan pada trimester II dan III sering terjadi premature. Tidak dianjurka untuk melakukan terminasi kehamilan dengna induksi atau SC, karena akan mempertinggi risiko pada ibu. Pada hepatitis B janin kemungkinan dapat tertular melalui plasenta, waktu lahir, atau masa neonatus; walaupun masih masih kontroversi penularan melalui air susu. Penatalaksanaan 1. Istirahat, diberi nutrisi dan cairan yang cukup, bila perlu IV 2. Isolasi cairan lambung dalam atau cairan badan lainnya dan ingatkan tentang pentingnya janin dipisahkan dengan ibunya 3. Periksa HbsAg 4. Kontrol kadar bilirubun, serum glutamic oksaloasetik transaminase (SGOT), serum glutamic piruvic transaminase (SGPT), factor pembekuan darah, karena kemungkinan telah ada disseminated intravaskular coagulapathy (DIC) 5. Cegah penggunaan obat-obat yang bersifat hepatotoksik 6. Pada ibu yang HbsAg positif perlu diperiksa HbsAg anak karena kemungkinan terjadi penularan melalui darah tali pusat 7. Tindakan operasi seperti SC akan memperburuk prognosis ibu 8. Pada bayi yang baru dilahirkan dalam 2x24 jam diberi suntikan anti hepatitis serum 10. HIV/AIDS Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di AS dab Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan, atau melalui ASI. Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar ibu dengna HIV positif tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang cukup besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV. Bila telah terdiagnosis adanya AIDS perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada infeksi PHS lainnya, sepeerti gonorrhea, chlamydia, hepatitis, herpes, ataupun infeksi toksoplasmik, CMV, TBC dan lain-lain. Penderita AIDS mempunyai gejal awal yang tidak spesifik seperti fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring maupun vagina. Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya, terutama pneumocystis carinii pneumonia. Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi oportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunisyiknya dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya dalam kehamilan. Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat penting peranannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat kontrasepsi, dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan. Dalam persalinan, SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut: 1. Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan 2. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi 3. Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS 4. Gunakan pelindung mata (kacamata) 5. Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius 6. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut 7. Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC. Untuk perawatan bayi, sebaiknya dilakukan oleh dokter anak yang khusus untuk menangani kasus ini. Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah, harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat harus dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita virus HIV. Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai 15 bulan. Jadi diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan adanya perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi pada bayi mungkin baru tampak pada usia 12-18 bulan. 11. TYPUS ABDOMINALIS Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Penyakit ini mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Dalam 60-80 % hasil konsepsi keluar secara spontan : lebih dini terjadinya infeksi dalam kehamilan, lebih besar kemungkinan berakhirnya kehamilan. Pengobatan dengan kloramfenikol atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah, semua wanita hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tufus abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita tidak menyusui bayinya karena keadaan umum ibu biasanya tidak mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain tetap ada. Tifus abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar