IKTERUS NEONATORUM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ikterus
neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa
normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak
dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar, infeksi, dan hemolisis.
BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar, infeksi, dan hemolisis.
BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
B.
Tujuan
1. Tujuan
umum
Untuk menambah
ilmu pengetahuan bagi semua mahasiswa yang membaca makalah ini.
2. Tujuan
khusus
a. Pengertian
Ikterik
b. Penyebab
dari Ikterik
c. Tanda
dan gejala Ikterik
d. Penanganan
dari Ikterik
C.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari Ikterik ?
2. Apa
penyebab dan faktor resiko
dari Ikterik ?
3. Apa
tanda dan gejala dari Ikterik ?
4. Bagaimana
pengananan dari Ikterik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ikterus atau Hiperbilirubinemia pada BBL
adalah meningginya kadar bilirubin didalam jaringan ekstravaskuler sehingga
kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. Ikterus pada
bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi
pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala
fisiologis atau dapat merupakan hal patologis. Ikterus
atau warna kuning pada bayi baru lahir dalam batas normal pada hari ke 2-3 dan menghilang pada hari ke-10.
Ikterik neonatorum dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Ikterus
Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2mg/dL. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya
sekitar 6 – 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat
selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 –
2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan
mencapai kadar yang lebih tinggi ( 7 – 14 mg/dL ) dan penurunan terjadi lebih
lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2 – 4 minggu bahkan dapat mencapai waktu 6
minggu.
2. Ikterus Patologis
Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. Peningkatan kadar bilirubin total
serum 0,5 mg/dL/jam. Ikterus diikuti dengan adanya tanda – tanda penyakit yang
mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat
badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil ). Ikterus bertahan setelah 8 hari pada
bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
B.
Penyebab dan faktor
resiko
Kuning pada
bayi timbul karena adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang berasal dari
pemecahan hemoglobin dalam sel darah merah) di bawah kulit. Pada saat masih
dalam kandungan, janin membutuhkan sel darah merah yang banyak karena
paru-parunya belum berfungsi. Sel darah merah mengangkut oksigen dan nutrisi
dari ibu ke bayi melalui plasenta. Sesudah bayi lahir, paru-parunya sudah
berfungsi, sehingga darah merah ini tidak dibutuhkan lagi dan dihancurkan.
Salah satu hasil pemecahan itu adalah bilirubin.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus, yaitu sebagai
berikut:
1.
Prahepatik (ikterus hemolitik)
Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada proses
hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik). Peningkatan bilirubin dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah
merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh itu sendiri.
2. Pascahepatik (obstruktif)
Adanya
obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan bilirubin konjungasi akan
kembali lagi ke dalam sel hati dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian sebagian
masuk dalam ginjal dan diekskresikan dalam urine. Sementara itu, sebagian lagi
tertimbun dalam tubuh sehingga kulit dan sklera berwarna kuning kehijauan serta
gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran empedu menyebabkan ekresi
bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga fases akan berwarna
putih keabu-abuan, liat, dan seperti dempul.
3. Hepatoseluler (ikterus hepatik)
Konjugasi
bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mengalami kerusakan maka secara otomatis akan
mengganggu proses konjugasi bilirubin sehingga bilirubin direct meningkat dalam aliran darah. Bilirubin direct
mudah dieksresikan oleh ginjal karena sifatnya mudah larut dalam air, namun sebagian
masih tertimbun dalam aliran darah.
Faktor risiko
untuk timbulnya ikterus neonatorum :
·
Faktor Maternal :
ü
Ras atau kelompok etnik tertentu
(Asia, Native American,Yunani)
ü
Komplikasi kehamilan (DM,
inkompatibilitas ABO dan Rh)
ü
Penggunaan infus oksitosin dalam
larutan hipotonik.
ü
ASI
·
Faktor Perinatal :
ü
Trauma lahir (sefalhematom,
ekimosis)
ü
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
·
Faktor Neonatus :
ü
Prematuritas
·
Faktor genetik :
ü
Polisitemia
ü
Obat (streptomisin, kloramfenikol,
benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
ü
Rendahnya asupan ASI
ü
Hipoglikemia
ü
Hipoalbuminemia
C.
Tanda
dan gejala
Fisiologis :
Ikterus fisiologis
adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru
lahir, tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern
ikterus. Ikterus fisiologis ini memiliki tanda-tanda berikut:
a)
Timbul pada
hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir.
b)
Kadar
bilirubin inderect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg%
pada neonatus kurang bulan.
c)
Kecepatan
peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per hari.
d)
Kadar bilirubin
direct tidak lebih dari 1 mg%
e)
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
f)
Tidak terbukti
mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
Patologis :
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus
patologis memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
a)
Ikterus
terjadi dalam 24 jam pertama
b)
Kadar
bilirubin inderect melebihi 10
mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
c)
Peningkatan
bilirubin melebihi 5 mg% per hari.
d)
Ikterus menetap
sesudah 2 minggu pertama
e)
Kadar bilirubin
direct lebih dari 1 mg%
f)
Mempunyai
hubungan dengan proses hemolitik
Daerah
|
Luas Ikterus
|
Kadar Bilirubin (mg%)
|
1
|
Kepala dan leher
|
5
|
2
|
Daerah 1 + badan bagian atas
|
9
|
3
|
Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai
|
11
|
4
|
Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki d bawah tungkai
|
12
|
5
|
Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan kaki
|
16
|
D.
Penanganan
1. Ikterus fisiologis
a. Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal lainnya
b. Lakukan perawatan bayi sehari-hari, seperti:
§ Memandikan
§ Melakukan perawatan tali pusat
§ Membersihkan jalan nafas
§ Menjemur bayi di bawah sinar matahari
pagi, kurang lebih 30 menit
c.
Jelaskan
pentingnya hal-hal seperti :
§
Memberikan ASI
sedini dan sesering mungkin
§ Menjemur bayi di bawah sinar matahari dengan kondisi telanjang selama 30
menit,15 menit dalam posisi terlentang, dan 15 menit sisanya dalam posisi
tengkurap
§ Memberikan asupan makanan bergizi tinggi bagi ibu,
§ Menganjurkan ibu untuk tidak minum jamu
d.
Apabila ada
tanda ikterus yang lebih parah (misalnya feses berwarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul), anjurkan ibu untuk
segera membawa bayinya ke puskesmas. Anjurkan ibu untuk kontrol setelah 2 hari.
2.
Hiperbilirubinemia
sedang
a.
Berikan ASI
secara adekuat
b.
Lakukan
pencegahan hipotermi
c.
Letakkan bayi
di tempat yang cukup sinar matahari ± 30 menit, selama 3-4 hari
d.
Lakukan
pemeriksaan ulang 2 hari kemudian
e.
Anjurkan ibu
dan keluarga untuk segera merujuk bayinya jika keadaan bayi bertambah parah
serta mengeluarkan feses bewarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul
3.
Hiperbilirubenemia
berat
a. Berikan informer consent pada keluarga
untuk segera merujuk bayinya
b. Selama persiapan merujuk, berikan ASI secara adekuat
c. Lakukan pencegahan hipotermi
d. Bila mungkin, ambil contoh darah ibu sebanyak 2,5 ml.
Bentuk terapi bermacam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada, yaitu :
1.
Terapi sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi,
bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air
tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus
meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan
pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang
tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di
bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flaxy glass yang
berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang
muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup
dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang
berlebihan dari lampu-lampu tersbut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi
belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu
pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi resiko terhadap organ reproduksi
itu, seperti kemandulan.
Pada saat
dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah, terlentang lalu
telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa
dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah boleh dibawa
pulang.
Meski relatif
efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi
yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum.
Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluaran
cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan
menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada
kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi
dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI
pada bayi.
Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah :
a.
Lampu yang
dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk menghindarkan
turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
b.
Pakaian bayi
dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
c.
Kedua mata
ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan
retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk
memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantau iritasi mata dilakukan tiap
6 jam dengan membuka penutup mata.
d.
Daerah kemaluan
ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi daerah
kemaluan dari cahaya fototerapi.
e.
Posisi lampu
diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi yang
optimal
f.
Posisi bayi
diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin
g.
Suhu tubuh
diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu
h.
Pemasukan
cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan muntah diukur, dicatat dan
dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
i.
Hidrasi bayi
diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan
j.
Lamanya terapi
sinar dicatat
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal, terapi
sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah,
perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak
efektif atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, gangguan
metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan kolaboratif
dengan tim medis.
Pemberian
terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek samping tersebut
bersifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan
tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan bayi
secara berkelanjutan.
Kelainan yang
mungkin timbul pada neonatus yang mendapat terapi sinar adalah :
a.
Peningkatan kehilangan cairan yang
tidak teratur (insensible water loss) Energi fototerapi dapat
meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan peningkatan penguapan melalui
kulit, terutama bayi premature atau berat lahir sangat rendah. Keadaan ini
dapat diantisipasi dengan pemberian cairan tambahan.
b.
Frekuensi defekasi meningkat
Meningkatnya bilirubin indirek pada
usus akan meningkatkan pembentukan enzim laktase yang dapat meningkatkan
peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar
laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c.
Timbul kelainan kulit “flea bite rash” di daerah muka badan dan
ekstrimitas
Kelainan ini
akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada beberapa terjadi “Bronze
baby syndrom” hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan
segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan
tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
d.
Peningkatan suhu
Beberapa neonatus yang
mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu lingkungan yang meningkat atau
gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi premature fungsi termostat atau
yang belum matang. Pada keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan
mematikan sebagian lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh
neontus dengan jangka waktu (unterval) yang lebih singkat.
e.
Kadang ditemukan kelainan, seperti
gangguan minum, lateragi, dan iritabilitas. Keadaan ini bersifat sementara dan
akan hilang dengan sendirinya.
f.
Gangguan pada mata dan pertumbuhan
Kelainan
retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban. Pada neonatus
yang mendapat terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya
serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan,
walupun demikian diperlukan kewaspadaan perawat tentang kemungkinan timbulnya
keadaan tersebut.
2.
Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi
tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl
atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan
kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebrel palsy, gangguan motorik
dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi
yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Penggantian darah sirkulasi neonatus
dengan darah dari donor dengan cara mengeluarkan darah neonatus dan masukkan
darah donor secara berulang dan bergantian melalui
suatu prosedur. Jumlah darah yang diganti sama dengan yang
dikeluarkan. Pergantian darah bisa mencapai 75-85% dari jumlah darah neonatus.
Tujuan transfusi tukar adalah untuk
menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis,
membuang antibody yang menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi anemia.
Transfusi tukar akan dilakukan oleh
dokter pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek sama dengan atau lebih
tinggi dari 20mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Pada neonatus
dengan kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg% dan kadar hemoglobin tali
pusat kurang dari 10 mg%, peningkatan kadar bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah
yang digunakan sebagai darah pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan
penyebab hiperbilirubinemia.
Transfusi tukar dilakukan,
tetapi sebelumnya label darah harus diperiksa apakah sudah sesuai dengan
permintaan dan tujuan transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus
kurang dari 27 jam. Darah yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam
sebelum transfusi tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik,
lalu bayi dibawa ke ruang aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.
Prosedur transfusi tukar : Bayi
ditidurkan di atas meja dengan fiksasi longgar, pasang monitor jantung dengan
alarm jantung diatur di luar batas 100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke
dalam vena umbilikalis, melalui kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu
dikeluarkan, kemudian darah pengganti sebanyak 200 cc dimasukkan ke dalam tubuh
bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi diambil lagi sebanyak 200 cc
dan dikeluarkan. Kemudian dimasukan
darah pengganti dengan jumlah yang sama. Demikian siklus penggantian tersebut
diulangi sampai selesai. Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke dalam
tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar
berkisar 140-180 bergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum
transfusi tukar.
Saat transfusi
tukar, darah donor dihangatkan sesuai suhu temperatur ruang. Pemanasan darah
dapat merusak eritrosit yang akan menghemolisis dan menghasilkan bilirubin.
Pemanasan tidak boleh dilakukan secara langsung dan tidak boleh menggunakan
microwave. Darah dihangatkan dengan koil penghangat yang dirancang untuk tujuan
tersebut.
Hal yang perlu
diperhatikan selama transfusi tukar berlangsung, perawat bertanggung jawab
membantu dan mencatat tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium
dan glukosa darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi
tukar selesai, dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan
bilirubin, kemudian diulangi tiap 4-8 jam atau sesuai anjuran dokter. Selama
dan sesudah transfusi tukar dapat terjadi komplikasi emboli udara dan trombosis
udara dan trombosis, aritmia, hipervolemia, henti jantung, hipernatremia,
hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis postransfusi tukar,
trombositopenia, perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti hepatitis
virus B.
3.
Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan
obat-obatan. Misalnya phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan
bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah
menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang
berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke
organ hati.
Biasanya terapi
ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah
tampak perbaikan, maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek
sampingnya adalah mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang
minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang
justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan
menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan
fototerpi si kecil sudah bisa ditangani.
4.
Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi
banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup
ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI
juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru
meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice).
Kejadian ini biasanya muncul di
minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3.
Biasanya untuk sementara ibu tidak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar
bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.
5.
Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya
merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di
rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama
setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam
keadaaan terlentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
antara jam 07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum
cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi
sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi
yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.
Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ikterus adalah keadaan dimana meningginya
kadar bilirubin didalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva,
mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. Ini disebabkan oleh karena adanya timbunan bilirubin
(zat/ komponen yang berasal dari pemecahan hemoglobin dalam sel darah merah) di
bawah kulit. Ikterus dikelompokkan menjadi dua yaitu Ikterus fisiologis yang biasanya timbul pada
hari kedua dan ketiga dan tanpa ada dasar patologis sedangkan Ikterus patologis
muncul pada 24 jam pertama bayi lahir dan akan menetap selama 2 minggu dan
kadar bilirubinnya melampaui batas kadar hiperbilirubinemia. Penanganan pada bayi
ikterus bermacam-macam sesuai tingkatan dan kadar bilirubinnya.
B.
Saran
Dalam
pembuatan makalah ini , masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
sangat diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dalam pembuatan makalah selanjutnya
lebih baik lagi. Selain itu, makalah ini disarankan pula untuk dijadikan tolak
ukur dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar