Loading

Sabtu, 11 Januari 2014

ANALISIS SITUASI GIZI BURUK DAN UPAYA MENGATASINYA

Pendahuluan
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitassumber daya manuasia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa.
Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini.
Analisis menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya yang mempunyai informasi status gizi masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan perubahan status gizi masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi masyarakat dimasa yang akan datang.
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index (HDI).
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi  makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi  makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari 241.973.879 penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).
Status Gizi pada Balita
Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003. Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2003.
Tabel 1 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan memperhatikan jumlah penduduk dan proporsi balita pada tahun pengamatan yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409.
Tabel  1. Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD)
Susenas 1989-2003
Tahun
Total Penduduk
Total Balita
Prevalensi
Jumlah balita dengan



Gizi buruk
Gizi Kurang
Buruk+Kurang
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Buruk+Kurang
1989
177,614,965
21,313,796
6.3
31.2
37.5
1,342,769
6,643,510
7,986,279
1992
185,323,458
22,238,815
7.2
28.3
35.6
1,607,866
6,302,480
7,910,346
1995
195,860,899
21,544,699
11.6
20.0
31.6
2,490,567
4,313,249
6,803,816
1998
206,398,340
20,639,834
10.5
19.0
29.5
2,169,247
3,921,568
6,090,815
1999
209,910,821
19,941,528
8.1
18.3
26.4
1,617,258
3,639,329
5,256,587
2000
203,456,005
17,904,128
7.5
17.1
24.7
1,348,181
3,066,977
4,415,158
2001
206,070,543
18,134,208
6.3
19.8
26.1
1,142,455
3,590,573
4,733,028
2002
208,749,460
18,369,952
8.0
19.3
27.3
1,469,596
3,545,401
5,014,997
2003
211,463,203
18,608,762
8.3
19.2
27.5
1,544.527
3,572,882
5,117,409
Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002.
Gizi Buruk
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Indikasi Gizi Buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejalaklinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejalaklinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Tiga Tipe Gizi Buruk
Kwasiorkor                                     
Memiliki ciri: (1) edema(pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah) membulat dan lembab; (2) pandangan mata sayu; (3) rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah rontok; (4) terjadi perubahanstatus mental menjadi apatis dan rewel; (5) terjadi pembesaran hati; (6) otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk; (7) terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis); (8) sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut; (9) anemia dan diare.
Marasmus
Memiliki ciri-ciri: (1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit; (2) wajah seperti orang tua; (3) mudah menangis/cengeng dan rewel; (4) kulit menjadi keriput; (5) jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar); (6) perut cekung, dan iga gambang; (7) sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang); (8)diare kronik atau konstipasi (susah buang air).
Marasmus merupakan keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita kelaparan. Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di negara-negara berkembang. Menurut data WHO sekitar 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.
Penderita gizi buruk yang paling banyak dijumpai ialah tipe marasmus. Arif di RS. Dr. Sutomo Surabaya mendapatkan 47% dan Barus di RS Dr. Pirngadi Medan sebanyak 42%. Hal ini dapat dipahami karena marasmus sering berhubungan dengan keadaan kepadatan penduduk dan higiene yang kurang di daerah perkotaan yang sedang membangundan serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Marasmic-kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.
Faktor yang Berpengaruh pada Status Gizi
Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status gizi masyarkat, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI.
1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000).
Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. (Lihat gambar 1)
Gambar 1. Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran pangan tingkat rumah tangga
Pebedaan tahun 1995, 2000, 2003
Perbedaan Kota Desa – 2003
   
2. Morbiditas
Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada gambar 3 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001.
Gambar 2. Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin,
SKRT 1995 dan 2001












Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002
Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.
3. Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat
Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan membedakan anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan dan juga berdasarkan tempat tinggal – Kota atau Desa. Penilaian dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa.
Gambar 3. Perilaku mengkonsumsi makanan menurut jenis kelamin dan penduduk Kota-Desa, 2003.
Laki-laki Perempuan
   
Kota Desa
   
4. Pola Asuh
Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003. Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%).
Gambar 4. Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan.
6. Kemiskinan
Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.
Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002.
Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan berdasarkan persen kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Gambar 5 berikut:
Gambar 5. Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002
Pemikiran Program Perbaikan Gizi untuk yang Akan Datang
Berangkat dari besarnya masalah gizi serta bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah. Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:
1.     Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten.
2.     Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.
3.     Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta.
4.     Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan.
Upaya Mengatasi Gizi buruk
Pencegahan
Beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak: (1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanantambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun. (2) Anak diberikan makananyang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat. (3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter. (4) Jika anak dirawat di rumah sakitkarena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makananyang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit. (5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalorilainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitaminpenting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisikyang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
Penanggulangan KEP
Pelayanan gizi (Depkes RI, 1998)
Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya setiap balitayang berobat atau dirujuk ke rumah sakitdilakukan pengukuran berat badan, tinggi badandan untuk menentukan status gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium. Penentuan status gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut : (1) Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanandi rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3 tahun. (2) Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitaminserta teruskan ASI dan pantau terus berat badannya. (b) Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan dietsesuai dengan penyakitnya. (c) Balita KEP berat : harus dirawat inap dan dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan nutrisinya.
Kegiatan penanggulangan KEP balita
Kegiatan penanggulangan KEP balita meliputi : (1) Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradasarkan berat badan dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat itu.Cara penjaringan yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat badannya dengan menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau standar antropometri. (2) Kegiatan penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah program intervensi bagi balita yang menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar meningkat status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya, asuhan kebidanan/keperawatan yaitu untuk memberikan bimbingan kepada kelurga balita KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat mencapai status gizi yang baik melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar bisa dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/paket pertolongan gizi hal ini diberikan untuk jangka pendek. Suplementasi gizi meliputi : pemberian sirup zat besi; vitamin A (berwarna biru untuk  bayi usia 6-11 bulan dosis 100.000 IU dan berwarna merah untuk balita usia 12-59 bulan dosis 200.000 IU); kapsul minyak beryodium, adalah larutan yodium dalam minyak berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium diberikan 1x dalam setahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar