ANALISIS SITUASI GIZI BURUK DAN UPAYA MENGATASINYA
Pendahuluan
Tujuan
utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitassumber daya
manuasia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan
kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang
anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh
kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan
makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat
membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif. Kekurangan gizi dapat
merusak bangsa.
Tujuan
dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi
masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini.
Analisis
menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data
lainnya yang mempunyai informasi status gizi masyarakat. Kajian
dilakukan juga berdasarkan perbedaan antar kabupaten, antar provinsi,
serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate”
analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan perubahan
status gizi masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan
rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi masyarakat dimasa
yang akan datang.
Masalah
gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak
dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.
Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya
dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga
menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola
hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat
kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama
dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan
istilah Human Development Index (HDI).
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
Berdasarkan
data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari
241.973.879 penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang
menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di
bawah usia lima tahun (balita).
Status Gizi pada Balita
Masalah
gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas
dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat
berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat
badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi
gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003.
Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari tahun 1989
sampai dengan tahun 2003.
Tabel
1 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan
memperhatikan jumlah penduduk dan proporsi balita pada tahun pengamatan
yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup
berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun
2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan
pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409.
Tabel 1. Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD)
Susenas 1989-2003
Tahun
|
Total Penduduk
|
Total Balita
|
Prevalensi
|
Jumlah balita dengan
|
||||
Gizi buruk
|
Gizi Kurang
|
Buruk+Kurang
|
Gizi Buruk
|
Gizi Kurang
|
Buruk+Kurang
|
|||
1989
|
177,614,965
|
21,313,796
|
6.3
|
31.2
|
37.5
|
1,342,769
|
6,643,510
|
7,986,279
|
1992
|
185,323,458
|
22,238,815
|
7.2
|
28.3
|
35.6
|
1,607,866
|
6,302,480
|
7,910,346
|
1995
|
195,860,899
|
21,544,699
|
11.6
|
20.0
|
31.6
|
2,490,567
|
4,313,249
|
6,803,816
|
1998
|
206,398,340
|
20,639,834
|
10.5
|
19.0
|
29.5
|
2,169,247
|
3,921,568
|
6,090,815
|
1999
|
209,910,821
|
19,941,528
|
8.1
|
18.3
|
26.4
|
1,617,258
|
3,639,329
|
5,256,587
|
2000
|
203,456,005
|
17,904,128
|
7.5
|
17.1
|
24.7
|
1,348,181
|
3,066,977
|
4,415,158
|
2001
|
206,070,543
|
18,134,208
|
6.3
|
19.8
|
26.1
|
1,142,455
|
3,590,573
|
4,733,028
|
2002
|
208,749,460
|
18,369,952
|
8.0
|
19.3
|
27.3
|
1,469,596
|
3,545,401
|
5,014,997
|
2003
|
211,463,203
|
18,608,762
|
8.3
|
19.2
|
27.5
|
1,544.527
|
3,572,882
|
5,117,409
|
Perlu dicatat jumlah penderita gizi
buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun
1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003.
Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan
cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu
di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001
melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada
tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi
Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari
tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai
9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta,
Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari
4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002.
Gizi Buruk
Gizi buruk (severe malnutrition)
adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi,
atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar
rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan
kalori. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan
sehari-hari. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah
salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Indikasi Gizi Buruk
Untuk KEP ringan dan sedang,
gejalaklinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan
yang tampak kurus. Sedangkan gejalaklinis KEP berat/gizi buruk secara
garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan
marasmic-kwashiorkor.
Tiga Tipe Gizi BurukKwasiorkor
Memiliki ciri: (1) edema(pembengkakan),
umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah) membulat dan
lembab; (2) pandangan mata sayu; (3) rambut tipis kemerahan seperti
warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah
rontok; (4) terjadi perubahanstatus mental menjadi apatis dan rewel;
(5) terjadi pembesaran hati; (6) otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata
bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk; (7) terdapat kelainan
kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis); (8)
sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut; (9) anemia dan
diare.
Marasmus
Memiliki ciri-ciri:
(1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus
kulit; (2) wajah seperti orang tua; (3) mudah menangis/cengeng dan
rewel; (4) kulit menjadi keriput; (5) jaringan lemak subkutis sangat
sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar); (6) perut
cekung, dan iga gambang; (7) sering disertai penyakit infeksi (umumnya
kronis berulang); (8)diare kronik atau konstipasi (susah buang air).
Marasmus merupakan
keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein
sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita
kelaparan. Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di
negara-negara berkembang. Menurut data WHO sekitar 49% dari 10,4 juta
kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun di negara
berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.
Penderita gizi buruk yang paling banyak
dijumpai ialah tipe marasmus. Arif di RS. Dr. Sutomo Surabaya
mendapatkan 47% dan Barus di RS Dr. Pirngadi Medan sebanyak 42%. Hal
ini dapat dipahami karena marasmus sering berhubungan dengan keadaan
kepadatan penduduk dan higiene yang kurang di daerah perkotaan yang
sedang membangundan serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Marasmic-kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki
ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus
disertai edema yang tidak mencolok.
Faktor yang Berpengaruh pada Status Gizi
Analisis berikut menguraikan faktor
yang erat kaitannya dengan perubahan status gizi masyarkat, yaitu mulai
dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit
infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan.
Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji
faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada
umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat
tingkat kabupaten, dan juga data HKI.
1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh
setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat.
Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah
(kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota
keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei
konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk
setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei
konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah
tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini,
diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi
berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990
Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari.
Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan
kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga
yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun
1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara
45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 –
35% (Latief, et.al, 2000).
Berdasarkan kor Susenas, informasi
ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan
perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor
Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran
untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan.
Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64%
tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi
meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga
terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan,
daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa,
analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di
Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak
mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa.
(Lihat gambar 1)
Gambar 1. Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran pangan tingkat rumah tangga
Pebedaan tahun 1995, 2000, 2003
|
Perbedaan Kota Desa – 2003
|
Informasi prevalensi menurut jenis
penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui
secara lengkap. Pada gambar 3 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit
yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit
infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan
pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit
sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada
laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat
penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi,
dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat
penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari
tahun 1995-2001.
Gambar 2. Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin,
SKRT 1995 dan 2001
Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002
Dari penyakit infeksi, ada beberapa
penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah,
TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000
penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di
Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per
100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali
meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka
insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk
meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun
prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada
periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun
1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata.
Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih
ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk.
Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah melaporkan
adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi
secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000
penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di
Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional,
sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka
nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.
3. Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat
Kebiasaan makan dinilai berdasarkan
perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam
kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan membedakan
anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan
dan juga berdasarkan tempat tinggal – Kota atau Desa. Penilaian
dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani,
dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut
tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan,
keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam
seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada
umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara
Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa
dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota
dan Desa.
Gambar 3. Perilaku mengkonsumsi makanan menurut jenis kelamin dan penduduk Kota-Desa, 2003.Laki-laki | Perempuan |
Kota | Desa |
Analisis pola asuh yang
dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat
dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI
terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995
menjadi 31,1% pada tahun 2003. Provinsi terendah memberikan ASI adalah
Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%).
Gambar 4. Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk
menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya
hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat
pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat
kesehatan.
6. Kemiskinan
Pada tahun 1970-an, Indonesia
dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi
“low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam
ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997
pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi
menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan
mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah
menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.
Indikator penting untuk mengukur
tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan.
Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami
penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk
miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun
1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis
moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan
1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat
kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2%
pada tahun 2002.
Distribusi penduduk miskin ini
bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan
yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan berdasarkan
persen kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Gambar 5 berikut:
Gambar 5. Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002
Berangkat dari besarnya masalah gizi
serta bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka
diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat
kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar
sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang
tumpang tindih dan tidak terarah. Berikut ini merupakan pemikiran untuk
program yang akan datang, antara lain:
1. Banyak hal
yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai
dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat
digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian
strategi program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan,
mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten.
2. Melakukan
penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat
preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada
kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program
efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga
dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan
ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.
3. Melakukan
strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah
perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga
dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta.
4. Secara
bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan
strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai
masalah gizi dan kesehatan.
Upaya Mengatasi Gizi burukPencegahan
Beberapa cara untuk mencegah terjadinya
gizi buruk pada anak: (1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai
anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan
makanantambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan
umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun. (2) Anak diberikan
makananyang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak,
vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal
10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat. (3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak
dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak
sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan
hal itu ke dokter. (4) Jika anak dirawat di rumah sakitkarena gizinya
buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makananyang harus
diberikan setelah pulang dari rumah sakit. (5) Jika anak telah
menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang
tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk
proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalorilainnya sudah
terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral
dan vitaminpenting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan
hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan
dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisikyang permanen dan akan muncul
masalah intelegensia di kemudian hari.
Penanggulangan KEPPelayanan gizi (Depkes RI, 1998)
Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya
setiap balitayang berobat atau dirujuk ke rumah sakitdilakukan
pengukuran berat badan, tinggi badandan untuk menentukan status
gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium. Penentuan
status gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut : (1)
Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian
makanandi rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi
makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3
tahun. (2) Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan : diberikan
nasehat pemberian makanan dan vitaminserta teruskan ASI dan pantau
terus berat badannya. (b) Penderita rawat inap : diberikan makanan
tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi20-50% diatas
kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan dietsesuai
dengan penyakitnya. (c) Balita KEP berat : harus dirawat inap dan
dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan nutrisinya.
Kegiatan penanggulangan KEP balita
Kegiatan
penanggulangan KEP balita meliputi : (1) Penjaringan balita KEP yaitu
kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradasarkan berat badan
dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada
saat itu.Cara penjaringan yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan
tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat badannya dengan
menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan
hasil pengukuran BB tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau
standar antropometri. (2) Kegiatan penanganan KEP balita meliputi
program PMT balita adalah program intervensi bagi balita yang menderita
KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar
meningkat status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam
KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya
sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya, asuhan
kebidanan/keperawatan yaitu untuk memberikan bimbingan kepada kelurga
balita KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat mencapai status
gizi yang baik melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar
bisa dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/paket pertolongan
gizi hal ini diberikan untuk jangka pendek. Suplementasi gizi meliputi
: pemberian sirup zat besi; vitamin A (berwarna biru untuk bayi
usia 6-11 bulan dosis 100.000 IU dan berwarna merah untuk balita usia
12-59 bulan dosis 200.000 IU); kapsul minyak beryodium, adalah larutan
yodium dalam minyak berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium diberikan
1x dalam setahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar